Kompas, 01 November 2004
SEORANG anak kelas VI sekolah
dasar memasang botol plastik yang telah dibelah dua di atas mobil-mobilan
Tamiya tanpa bodi. Di dalam botol ia masukkan balon berisi air, sambil
tangannya terus menjepit leher balon agar air tidak tumpah sebelum waktunya.
Kemudian jepitan ia lepaskan. Air mengucur deras ke belakang, dan mobil-mobilan
meluncur ke depan. Anak itu gembira. Betul-betul gembira. Beberapa temannya
yang menyaksikan bertepuk tangan.
EKSPERIMENNYA itu kemudian
diikutkan pada suatu lomba. Sang juri bertanya, "Percobaanmu itu apa
gunanya?"Sedikit tergagap si anak menjawab, "Ini bukti air sebagai
sumber energi."Juri mengangguk-angguk. Tak ada pertanyaan lagi sesudah
itu. Habis. Tak ada tawa. Beda sungguh dengan ketika pertama kali hasil
eksperimen itu diperagakan di hadapan teman-temannya.
Entah karena jawaban tersebut,
entah karena hasil eksperimen itu kalah menarik dibandingkan dengan eksperimen
karya peserta lainnya, walhasil anak itu tidak menang.
Akan tetapi bukan itu yang
penting. Saya bayangkan kalau saya juri, tak akan saya tanya manfaatnya. Saya
akan bertanya bagaimana ceritanya ia mendapat ide seperti itu? Bagaimana
perasaannya menemukan mainan sederhana itu?
Bukan kebetulan, saya tahu kisah
bagaimana eksperimen itu dimulai. Anak itu terinspirasi oleh eksperimen
temannya yang gagal meluncurkan mobil dengan udara. Digabung dengan hasil
main-mainnya dengan balon berisi air, jadilah mobil bertenaga air. Boleh jadi
yang seperti itu pernah dilakukan di belahan bumi yang lain. Bukan sesuatu yang
baru. Akan tetapi, bagi si anak, tetap saja baru.
Menurut hemat saya, jauh lebih
berharga apabila juri mengeksplorasi kegembiraan anak-anak saat menceritakan
kembali perjalanan eksperimennya ketimbang menghadangnya dengan
pertanyaan"apa manfaatnya?" Biarlah binar-binar memancar dari mata
mereka karena itu akan bermetamorfosis menjadi antusiasme. Antusiasme itu akan
menjadi energi untuk kembali mengerjakan eksperimen sains yang asyik.
Pertanyaan "apa manfaatnya" hanya akan menjadi pagar khayalan yang
menghadang kreativitas mereka di sana-sini.
Saya jadi teringat kisah Richard
P Feynman (1918-1988) dari Amerika Serikat yang merupakan salah seorang
fisikawan paling berpengaruh di abad ke-20. Ia peraih Nobel Fisika tahun 1965. Suatu ketika Feynman merasa
mulai sebal dengan fisika. Ia tahu sebabnya. Tidak lain karena ia mulai serius.
Akhirnya ia putuskan untuk kembali seperti dulu: bermain dengan fisika. Ia
menulis di bukunya, "aku melakukan apa saja yang kusukai; apa yang
kukerjakan tak mesti penting untuk perkembangan fisika nuklir, tapi asal menarik
dan menyenangkan untuk mainanku".
Suatu ketika Feynman bermain
lempar piring di kafetaria kampusnya. Waktu piring itu melayang di udara, ia
melihat bandul merah di atas piring itu berputar-putar,lebih cepat daripada
perputaran piring. Dengan penuh semangat ia mulai menghitung gerakan rotasi
piring itu. Hasilnya ia ceritakan kepada koleganya, fisikawan terkenal Hans
Bethe (peraih Nobel Fisika tahun 1967). Bethe bilang, "Feynman, itu memang
menarik, tetapi apa pentingnya? Mengapa kau kerjakan?"Memang tidak ada
pentingnya. Feynman mengerjakannya cuma karena senang. Komentar Bethe tidak
memengaruhinya karena ia sudah menetapkan hati untuk menikmati fisika.
Ujungnya, main-mainnya itu mengantarkan ia kepada perhitungan-perhitungan
gerakan elektron yang rumit, yang membuatnya memperoleh Nobel Fisika.
Ya, itulah. Semestinya sains
didekati dengan semangat bermain.
Rupanya tidak mudah melepaskan
sains dari kata"serius". Di dalam lomba percobaan sains yang lain,
seorang anak SD memeragakan kincir air buatannya. Kincir air itu bagus dan
sederhana. Ia kemudian bercerita mengenai manfaat dari kincirnya itu, yang
dikatakannya dapat memperbaiki kesejahteraan petani. Di sinilah soalnya.
Paparan itu tampak membanggakan, tetapi saya malah jatuh iba. Anak sekecil itu
sudah memikirkan soal yang serupa itu. Mungkin ini dramatisasi, tetapi sempat
terpikir: berat benar jadi anak Indonesia! Ingin saya bilang, "Ayo kita
keluar bermain-main dengan kincir airmu itu. Biar orang dewasa saja yang
memikirkan kesejahteraan petani."
Saya tidak tahu adakah soal
kesejahteraan petani itu idenya sendiri atau "pesanan" orangtua atau
gurunya. Apa pun, menurut pendapat saya, hal ini menjerembabkan sains menjadi
serius. Eksperimen sains anak-anak kembali"menghamba" untuk menjadi
jawaban atas pertanyaan "apa manfaatnya".
Penyakit serius ini sempat
menjangkit pula di klub sains yang saya asuh. Beberapa anak minta saran
bagaimana cara menjawab pertanyaan,"apa manfaat percobaanmu?"Saya
balik tanya, "Menurutmu apa?""Enggak tahu.""Ya sudah. Jawab
saja belum tahu. Atau bilang saja, percobaan ini membuat saya lebih memahami
sains. Memang kenyataannya begitu kan?""Kalau ditanya manfaat
sehari-hari?""Kalau tidak tahu, bilang saja tidak tahu. Memangnya
harus selalu ada manfaat sehari-harinya?""Ya, kalau jawabannya
begitu, bisa kalah dong!""Tidak mengapa. Lebih penting bagimu
menikmati dan memahami sains daripada memenangi lomba. Jauh lebih penting
bagimu untuk bergembira dengan sains daripada mencemaskan akan juara atau
tidak."
Anak-anak, bahkan juga kita orang
dewasa, patut diberitahukan bahwa kemenangan yang sesungguhnya ialah apabila
kita semakin memahami alam. Jadi, entah di rumah entah di sekolah atau di mana
saja, biarlah anak-anak bergembira dengan sains. Biarlah mereka menemukan dunia
yang asyik melalui kegiatan-kegiatan yang tampak tak berguna semacam mengamati
semut, mencampur soda kue dan cuka di dapur rumah Anda, atau meniup gelembung
sabun dari sisa sabun mandinya. Dampingi saja mereka bermain dan bergembiralah
bersama. Atau jangan-jangan Anda sendiri masih memandang sains kelewat serius?
A Muzi Marpaung Pengasuh Klub
Sains Ilma
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>