Aku pernah mematikan total hapeku selama 10 hari. Selama itu, aku tidak berhubungan dengan dunia luar sama sekali. Hanya dari situ kau bisa mengamati apa yang gadget dan koneksi internet telah renggut selama ini.
Katakanlah aku terjebak dalam sudut pandang
yang menggelikan. Katakanlah aku salah menyikapi kemajuan, tapi hal-hal ini
yang telah kupelajari dalam 10 hari. Sudahkah kau mencoba sendiri sebelum
menjustifikasi?
.
Melalui layar 4 inchi ini, aku memang
melihat dunia tanpa batas yurisdiksi.
Namun, kata orang bijak, "You are what
you eat". Belakangan aku tahu bahwa hal itu tidak hanya berlaku untuk
makanan perut, tapi juga "makanan pikiran". Apa yang telah kita
masukkan dalam pikiran, jiwa, dan hati kita selama ini menentukan seperti apa
diri kita. Lalu pernahkah bertanya, yang aku telan selama ini lebih banyak
racun atau gizinya? Pantas kalau diri kita masih gini-gini saja. Ternyata ini
sebabnya.
.
Perhatikan, kondisi "sumber makanan
pikiran" kita semakin tercemari.
Aku lelah menjelaskan pada satu persatu
orang tentang negatifnya menyebarkan hoax dan kebohongan.
Kita juga tidak pernah kehabisan alasan
untuk saling membenci. Apa-apa dijadikan 'amunisi'.
Sama-sama manusia, kalau beda negara rusuh.
Sama-sama Indonesia, kalau beda agama rusuh. Sama agamanya, beda pandangan juga
rusuh. Terus gimana nih maunya?
Padahal, kalau bukan Tuhan, lalu siapa lagi
yang menciptakan SEMUA perbedaan ini? Kalau Dia mau, Dia bisa saja menjadikan
semua manusia 'serupa' dalam segala hal. Lalu, kenapa kita lancang menentang
Tuhan dengan meludahi perbedaan?
Aku sendiri tidak pernah mengunfriend yang
beda pandangan, aku dan kamu bisa bersahabat walaupun kita tidak sepakat.
Pernah lihat orang yang penuh permusuhan hidupnya tenang? Bagaimana kita
berharap ada bunga yang tumbuh di atas kawah berapi? Yang dirahmati Tuhan
adalah hubungan, bukan permusuhan.
Unity in diversity.
Yang aku heran, apa-apa dijadikan
perdebatan. Seperti ritual medsos tahunan, mulai dari ucapan natal, perayaan
valentine, bahkan juga jumlah peserta unjuk rasa!
Diri ini merasa lebih baik karena pihak
lain terlihat lebih buruk. Kita merasa senang atas ketidakbaikan orang. Tuhan
mana yang mendukung karakter seperti itu?
Padahal, this too shall pass. Semua hal
pasti akan berlalu sendiri silih berganti. 10 tahun lagi, apakah yang kita
pertengkarkan ini lebih berharga daripada hubungan baik kita?
Padahal, kata "musuh" hanyalah
ilusi, sebuah sekat yang kita buat sendiri. Tuhan tidak mengatakan bahwa Ia
hanya dekat dengan pembuluh nadi orang beragama X dan bersuku Y, Tuhan dekat
dengan pembuluh nadi semua orang. Sudah lupa, ya?
Yang aneh adalah, jika tidak pro pokoknya
salah! Kontra salah, netral pun juga disalahkan. Tidak ada hal lain yang
ditunjukkan kecuali sifat kekanak-kanakan. Boikot terhadap produk perusahaan
raksasa tidak akan berpengaruh sedikitpun pada owner-owner atas yang sudah kaya
raya, yang kalian bahayakan adalah penjual-penjual kecil yang masih bingung
cari makan tiap harinya, yang mereka bahkan tidak tahu apa-apa tentang
kebijakan perusahaan.
Ada sebuah peribahasa Cina yang layak untuk
kita renungkan. "Menyimpan dendam seperti meminum racun tapi berharap
orang lain yang mati."
Buddha pun berkata, "Anda tidak
dihukum KARENA kemarahan Anda, Anda dihukum OLEH kemarahan Anda."
Jika tetap tidak bisa mengendalikan
kemarahan? DIAM!
Setidaknya kemarahan kita tidak akan
menjadi sebab kemarahan orang lain.
“Barangsiapa yang diam, dia selamat.” (HR. Tirmidzi no. 2501)
Dan aku tahu,
Memang ada saatnya memproteksi diri. Ada
saatnya mempertahankan kenyamanan pribadi.
Tapi bagiku, ada juga saatnya untuk
mencapai tujuan yang lebih tinggi. Karena itu, aku tidak akan pergi dari sini
:)
- Afi N.F
Sumber:
