Katanya penulis itu harus kreatif menuliskan setiap kegelisahannya, harus lebih peka lagi terhadap sekitar dan saat ini saya sedang benar-benar menggelisahkan feminisme yang semakin merajalela. Saya pribadi lebih senang menyebutnya dengan Emansipasi Kebablasan. Kenapa? Karena mereka nyaris keluar dari kodratnya.
Seorang yang sudah terjangkit feminisme menulis di akun sosial medianya begini tepat di hari ibu, "menjadi perempuan tidak harus menjadi ibu seperti memiliki anak, menikah atau bahkan melayani suami. Rahimmu otoritasmu, hidupmu juga otoritasmu." Sebelumnya dia juga bilang bahwa ibu berdaster, rambut acak-acakan, minta uang sama suami terlihat seperti makhluk lemah korban patriarki. Wow, bukan?
Saya perempuan tapi saya tidak mengamini sedikitpun hal itu, menurut saya berbicara seperti itu sama halnya bertanya, untuk apa hidup? Sementara di sisi lain ada pepatah mengatakan, perempuan baru merasa dirinya sempurna jika melahirkan anak dari rahimnya sendiri.
Yang membuat saya heran, banyak muslimah ikut serta mengiyakan hal ini padahal Islam itu mengatur dengan sempurna bahwa istri memang harus patuh sama suaminya. Alhadits mengatakan bahwa jika boleh kuperintahkan manusia bersujud pada manusia lain maka istri sujud pada suaminya. Alqur'an menuliskan bahwa "...Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita). (QS An-Nisa :34).
Lanjut kenapa harus bawa-bawa agama? Karena agama sudah mengatur semuanya, islam itu menyeluruh dan detail. Dari urusan habluminallah hingga habluminannas. Yang lain sudah pada ke bulan ini masih saja memperdebatkan agama. Lah siapa yang memperdebatkan agama, kita hanya terus belajar karena hanya ada 2 orang yang terus haus dan tidak pernah kenyang yaitu penuntut ilmu agama dan pecinta dunia (HR. Al-hakim) terlepas dari hadits itu shahih atau dhaif tapi maknanya cukup dalam. Daripada kamu yang bisanya cuma nyinyir tapi ke bulan tidak, belajar agama juga tidak. Rugi atuh aikamu.
Islam itu memuliakan wanita sementara feminisme menyetarakan. Tanya hatimu sendiri mau dimuliakan atau disetarakan? Mau kerja, mau bebas, gak bergantung sama suami dan sebagainya. Kalau saya justru dapat suami seperti itu, yang meminta saya di rumah, duduk manis, ngurus rumah tangga, ngurus anak, sisanya perawatan, dia bertanggung jawab dan menghargai saya justru beruntung dong bukannya malah ingin berontak.
Dan terakhir saya cuma mau bilang muslimah yang masih menganut paham feminisme, itu kalau shalat shafnya apa sejajar sama imam?
Oke lanjut, kembali ke laptop, eh kembali ke judul di awal maksudnya. Lantas bagaimana jika kami bukan muslimah? Untukmu agamamu, untukku agamaku. Bagi saya itu sudah menjadi sebaik-baiknya toleransi. Hanya saja yang perlu diluruskan bahwa, jangan jadikan Kartini sebagai tokoh emansipasi atau bahkan feminis Indonesia seperti yang kalian gaungkan selama ini.
Tolong baca sejarah dengan baik, Kartini sendiri sudah membuang jauh-jauh pemikiran tersebut, terbukti dengan dibatalkannya rencana ia sekolah di kawasan betawi dan tunduk jadi istri ke 4 Adipati Rembang melahirkan seorang anak, di surat terakhirnya Kartini menuliskan bahwa saya bahagia menjadi ibu rumah tangga.
Baca juga latar belakang kenapa sebelumnya Kartini ingin berontak, karena ia sekolah di kawasan anak-anak Belanda pada masa itu juga surat menyuratnya dengan seorang wanita paham feminis luar yang usianya jauh lebih tua. Akhirnya tokoh feminis luar kecewa dengan pilihan Kartini.
Lalu bagaimana dengan surat Kartini yang dibukukan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang? Ada dugaan Abendanon penulis asli yang memberi judul Door Duisternis Tot Licht (Dari Gelap Menuju Cahaya) telah merekayasa isinya karena saat itu sedang polemik Hindia-Belanda. Diperkuat dengan semakin seriusnya Kartini belajar Agama.
Belajar dari guru spiritualnya Mumammad Soleh bin Umar Assamarani atau akrab dikenal KH Soleh Darat Semarang, Kartini muda terkagum-kagum pertama kali mengetahui terjemahan Al-Fatihah induk Al-Qur'an lantas beliau bertanya, "Kyai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?"
Kyai Sholeh tertegun. “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kyai Sholeh balik bertanya.
“Kyai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al Fatihah, surat pertama dan induk Al Quran. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” ujar Kartini.
“Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah” lanjutnya. “Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al Quran ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al Quran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”
Sementara KH. Soleh Darat terinspirasi untuk membuat tafsir Al Quran berbahasa Jawa dengan aksara Arab Pegon “Faidlur Rahman fi Tafsiril Quran”. Kelak karya penafsirannya ia hadiahkan kepada Kartini.
“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya.”(QS Al-Baqarah :257), Minazh-Zhulumaati ilan Nuur, sesuai dengan bahasa Belandanya bukan?
Ya, berbicara tentang Kartini banyak orang (terutama perempuan) yang hanya meneladani sebagian kisah hidupnya, lebih menitik beratkan pada emansipasi tanpa pernah mau tahu kelanjutan seperti apa akhir kisah hidup beliau.
Maka sekali lagi demi menjalankan Pembukaan UUD yang mencerdaskan kehidupan bangsa, saya kemukakan bahwa Kartini bukan tokoh feminisme, maka jika kamu tetap bersikukuh mengaitkan Indonesia dengan Feminis silahkan cari tokoh lain tapi tidak untuk Kartini. Sekian dan terima kasih.
Oleh : Hanum
Oleh : Hanum
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>